“Pahlawan tanpa tanda jasa,” begitu kita melukiskan kemuliaan para guru.
Meskipun memiliki kekurangan, kita tetap saja menghormati guru-guru
kita, bukan? Penghormatan itu tidak hanya ditujukan kepada orang-orang
yang berprofesi sebagai guru dalam pengertian formal. Melainkan kepada
siapa saja yang kita nilai layak untuk dijadikan tempat berguru. Di
kantor, misalnya; saya masih mengingat dengan baik orang yang mengajari
saya tentang kepemimpinan. Ingat kepada orang yang mengajari tentang ini
dan itu hingga bisa meniti karir dengan baik. Kebaikan mereka, masih
tetap diingat meski sudah lama tidak lagi berinteraksi. Boleh jadi, kita
pun bisa membagikan ilmu yang kita miliki kepada orang-orang disekitar
kita. Meskipun bukan guru, tapi boleh jadi ada manfaat yang bisa diambil
oleh orang lain dari ilmu yang kita miliki. Sudahkah Anda membagikan
ilmu kepada orang lain?
Rasulullah pernah menyatakan jika ‘alim ulama alias orang berilmu itu
adalah pewaris para Nabi. Bukankah warisan paling bernilai dari para
Nabi adalah ilmu? Maka kedudukan orang-orang yang berilmu dan membagikan
ilmunya kepada orang lain itu sangatlah tinggi. Yang namanya ilmu, luas
sekali cakupannya. Diantara para Nabi pun bahkan ada yang ahli
astronomi, ahli perdagangan, dan ahli kepemimpinan. Maka ilmu apapun
yang bisa kita berikan kepada orang lain – jika dilandasi akhlaq mulia –
akan sama mulianya dengan mengajarkan ilmu Sang Nabi. Mengapa? Karena
semua ilmu bersumber dari Sang Maha Berilmu. Jadi, sudah waktunya untuk
mengajarkan kepada orang lain tentang ilmu apapun yang sekarang Anda
miliki. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar membagikan ilmu
kepada orang lain, saya ajak memulainya dengan memahami dan menerapkan 5
sudut pandang Natural Intelligence (NatIn™), berikut ini :
- Senang melihat orang lain lebih pintar. Ukuran pintar itu memang relatif. Tetapi, frase ‘lebih pintar’ memiliki 2 makna. Bisa lebih pintar dari sebelumnya, yang berarti ada perkembangan sebagai hasil proses pembelajaran. Bisa juga ‘lebih pintar’ dari gurunya. Nah, untuk makna kedua itu bukan soal sepele. Rupanya cukup banyak juga orang yang khawatir kalau ‘muridnya’ lebih pintar dari dirinya. Makanya, ada yang pelit ilmu. Tidak mau berbagi apa yang dia ketahui tentang sesuatu. Untuk membangun kesediaan berbagi ilmu, kita mesti terlebih dahulu memiliki kesenangan melihat orang lain lebih pintar. Memang murid itu harus lebih pintar dari gurunya kok. Jika tidak, maka dunia kita akan mengalami kemunduran. Kalau kita senang melihat orang lain lebih pintar dari diri kita, maka kita tidak ragu mengajarkan semua ilmu.
- Memudahkan yang sulit-sulit. Dalam hidup sudah banyak hal-hal sulit. Sedangkan kehadiran ilmu bertujuan untuk membantu kita menjalani hidup dengan lebih mudah. Cobalah simak di lingkungan kerja Anda; adakah orang yang mengalami kesulitan dalam melakukan pekerjaannya, misalnya. Jika ada, tantanglah diri Anda; bagaimana membantunya untuk menemukan cara mudah menyelesaikan pekerjaan itu. Tidak perlu menunggu naik jabatan menjadi atasan orang itu dulu untuk membantunya. Sekarang saja. Jika Anda tahu cara lebih mudah mengerjakan yang sulit-sulit, tidak usah pelit; ajarkanlah kepada teman Anda itu. Ketika orang itu mendapatkan kemudahan, lalu cara kerjanya lebih efektif dan lebih produktif, maka tentu dia akan lebih bahagia dalam hidupnya. Ilmu kita pun jadi lebih bermanfaat.
- Menyederhanakan yang rumit-rumit. Banyak sekali hal rumit yang dipelajari di sekolah atau ruang-ruang kursus. Kenyataannya, hanya sedikit dari kerumitan proses belajar itu yang ada korelasinya dengan dunia kerja kita. Coba saja perhatikan, sebagian besar tantangan yang kita hadapi dalam pekerjaan juga menyangkut hal-hal sederhana. Tetapi di ruang-ruang belajar, kita sering membahas teori-teori yang rumit. Begitu juga di ruang training. Padahal, pembahasan yang rumit membuat kepala kita terasa mumit. Ada kesan kalau kerumitan itu menggambarkan kecanggihan gurunya. Semakin rumit, semakin terkesan pintar. Mari kita berbuat sebaliknya; membantu orang lain menyederhanakan yang rumit-rumit. Supaya mereka lebih mudah mendapatkan pemahaman. Lalu lebih mudah lagi untuk mempraktekkan.
- Biar saja cetek, yang penting mengena. Mungkin memang ada bidang-bidang tertentu yang membutuhkan ilmu tinggi dan teori canggih. Tetapi, hanya sedikit kok orang yang terlibat langsung dengan urusan seperti itu. Orang-orang disekitar kita kebanyakan malah berurusan dengan hal-hal yang cetek-cetek saja kok. Makanya, menyampaikan ilmu yang cetek itu sering lebih mengena buat dunia nyata kita. Kalau pun kita tahu ilmu canggihnya, tidak usah tergoda untuk memamerkan kecanggihan itu. Percuma canggih kalau tidak sesuai dengan realitas dan tantangan yang dihadapi. Meskipun cetek, tapi kalau cocok dengan kebutuhan malah akan lebih berguna. Nyatanya, kecetekan sering lebih bisa membuka peluang pemahaman dan penerapan. Sedangkan kecanggihan lebih sering hanya menghiasi modul tebal, ijasah bagus, dan ruang-ruang perpustakaan yang tak penah disentuh lagi setelahnya. Kita mau berbagi ilmu, bukannya mau pamer kepinteran, kan?
- Tetap rendah hati. Kalau soal ini, orang yang paling banyak ilmunya sekalipun mesti berguru kepada padi. Karena semakin berisi, padi semakin merunduk. Setinggi apapun ilmu kita, ternyata kita ini tetap saja bukan orang yang serba tahu. Lebih banyak hal yang tidak kita ketahui daripada yang kita ketahui. Dihadapan sesama manusia, mungkin kita dianggap berilmu tinggi. Padahal, boleh jadi sebenarnya kita hanya menang lebih dulu membaca dari mereka. Di hadapan Tuhan? Oh, kita ini tidak ada apa-apanya. Sikap rendah hati bukan sekedar berguna untuk mendekatkan diri kepada orang lain. Melainkan lebih karena kita mengakui bahwa; ilmu itu hanya milik Sang Maha Tahu. Mungkin memang orang lebih mudah menghargai orang yang memposisikan dirinya tinggi. Namun, orang berilmu yang rendah hati; tidak akan pernah kehilangan rasa hormat yang datang dari lubuk hati.
Dalam salah satu nasihatnya Rasulullah mengingatkan bahwa salah satu
amal yang terus mengalir pahalanya meski kita sudah meninggal adalah
ilmu yang bermanfaat. Yaitu ilmu yang kita tinggalkan untuk orang lain.
Bukan yang kita kekepin sendiri hingga terbawa mati. Maka atas setiap
ilmu yang kita dapatkan, kita memiliki kewajiban untuk meneruskannya
kepada orang lain demi kemanfaatan mereka. Boleh jadi kita tidak bisa
mengamalkan ilmu itu. Sedangkan mereka, bisa mempraktekannya. Meskipun
kita sudah tidak lagi mampu berbuat apa-apa dengan ilmu itu, namun ada
orang lain yang terus mengamalkannya. Itulah saat dimana ilmu kita
bermanfaat. Dan itulah pula saat dimana pahala kita, terus mengalir
hingga akhir zaman. Ingin mendapat manfaat selanggeng itu? Ayo dong
bagikan ilmumu kepada orang lain.
Sumber : Kang Dadang
Tags: Islam, Misc
Jika anda suka dengan posting ini dan berharap mendapatkan informasi lain ketika saya membuat posting baru, maka pastikan Anda sudah berlangganan gratis update dari saya via email. Berlangganan Sekarang!
0 komentar:
Have any question? Feel Free To Post Below: